Sama persis seperti hari itu, dimana angin berhembus pelan. Aku tidak bisa menghapus ingatan ini dari memoriku. Mungkin kali ini aku sudah tidak akan meneteskan air mata lagi.-
Aku kembali melakukan aktifitasku seperti biasa. Ami memintaku untuk membantu mengerjakan tugasnya.
“Ha’ah capeknya..” Ucapku malas sambil membaringkan tubuhku di sofa empuk milik Ami.
“Hei, Miu, jangan tidur dulu dong! Bantu aku nih~~” Ami mengguncang- guncangkan tubuhku.
Dengan enggan aku bangun dan mulai mengetik lagi, “Masih sisa berapa soal sih?”
“Masih ada empat puluh soal lagi.” Jawabnya ringan.
“Haah? Gila. Kamu aja nih yang ngerjain sendiri, lagipula kenapa bisa- bisanya kamu disuruh guru sih??” Tanyaku sambil memukul pundakku yang mulai sakit karena mengetik dari tadi.
“Habis.. aku lupa ngerjain tugas sih. Hehehe,” Ami memasang muka melas dan aku memasang muka itu-kan-salahmu-sendiri-kenapa-aku-harus-membantumu-?!
Tiba- tiba ponselku berbunyi lagu ‘Natsu no Namae’ dari J-band Arashi. Aku mengambil ponselku dan mengangkat telepon yang masuk.
“Hallo?”
“Hallo Miu, kamu lagi apa?” Tanya suara dari seberang.
“Oh, ini lagi ngerjain tugasnya Ami. Ada apa Youta?”
“Pacarmu?” Ami menyela percakapanku.
Aku hanya mengangguk. Aku dan Youta sudah berpacaran kira- kira 2 bulan terakhir ini. Kami pertama kali bertemu di kolam renang yang sering aku kunjungi dan menjadi teman karib. Kemudian sebulan setelahnya, Youta menyatakan perasaannya padaku. Tentu saja aku terima, karena aku juga menyukainya sejak pertama.
“Cuma tanya, hehe. Kamu nggak tanya aku lagi ngapain?”
“Haha.. tanpa tanya pun aku udah tau kamu ngapain.”
“Ngapain emangnya?”
“Lagi bosenkan? Nggak ada kerjaan.” Jawabku seperti biasa.
“Kok tau sih?”
“Ya tau lah, ‘kan kamu nelponnya cuma kalau kamu bosen aja”
“Nggak juga tuh, haha.. Ya udah deh~ aku mau belajar nge-dance lagi aja. Selamat mengerjakan tugas Miu-miu. Jangan lupa makan yaa~”
“Okee..”
Tut. Kumatikan teleponnya, kemudian kembali mengerjakan tugasnya Ami.
Ami memberikan pandangan menyelidik padaku tanpa berpaling, seolah dia menunggu matanya sampai keluar laser dari sana.
“Ada apa Ami?” Tanyaku dengan nada datar.
“Kenalin dong sama pacarmu.”
“Kapan- kapan.”
“Sekarang.”
Aku menghentikan aktivitasku mengetik dan menoleh ember Ami, “Kerjakan dulu tugasmu. Enak banget aku yang ngerjain semua. Kalau kamu emberrus aku pulang nih.” Ucapku dengan nada datar.
“I-Iya, iya, Miu galak ah~”
Bukannya aku galak, tapi kamu aja yang ngeselin, Pikirku kemudian melanjutkan mengetik.
Setelah jam menunjukan pukul 4 sore, aku selesai mengerjakan tugasku eh, tugasnya Ami. Kemudian aku berpamitan ke Ami setelah menyuruh Youta menjemputku.
“Kenalin nih pacarku, Shibata Youta. Youta, ini temenku yang amat sangat merepotkan, Hashimoto Ami.” Ucapku dengan ember penekanan pada kalimat ‘yang amat sangat merepotkan’
Ami mencubit lenganku selagi tersenyum pada Youta, “Salam kenal.”
“Salam kenal juga, Hashimoto-san.” Ucap Youta.
“Panggil saja Ami.”
Mulai deh. Ami kalau udah liat cowok keren pasti langsung kecentilan.
“Yuk pulang, Youta.” Kataku sembari menarik Youta dari hadapan Ami, gawat kalau Ami sampai suka sama Youta dan melupakan fakta bahwa Youta itu pacarku.
Aku perjelas ceritanya, jadi waktu Youta menyatakan perasaannya kami sedang bermain di kolam renang yang menjadi sahabat karib kami. Saat itu sedang ada event ulang tahun kolam renang itu yang ke 24th. Jadi mereka menyalakan kembang api. Aku dan Youta duduk di pinggir kolam renang, dan tiba- tiba kembang api pun dinyalakan. Youta menyatakan perasaannya. Awalnya aku kaget sampai nggak bisa bilang apa- apa, tapi akhirnya aku bisa mengeluarkan suara untuk menjawabnya, ‘iya’ ucapku saat itu.
Kemudian setelah itu, kembang api mulai memenuhi langit kembali.
–
“Miu!!!” Panggil Ami sambil berlari ke arahku.
Aku meletakan buku yang aku baca. “Apa?”
“Besok kita jalan- jalan yuk, ke pantai~ Hehehe.” Ami menatapku antusias.
“Heh? Ngapain?”
“Ayolah~ Besok ‘kan udah mulai liburan musim panas ‘kan?? Ya? Ya.”
Ha’ah. Anak ini selalu seenaknya saja. Nggak dipikirin biayanya. Nginep apa nggak. Bener- bener ngerepotin orang. Kok bisa ya aku temenan sama dia.
“Ya.”
“O, iya! Ajak Youta-kun ya! Hehe..”
“Ami..!”
Aku memandang Ami dengan memberikan tatapan peringatan.
“Apa?” Jawabnya santai sambil memainkan ponselnya–mungkin untuk menulis di kalender ide gilanya ini.
“Youta itu pacarku lho.”
“Iya- iya.” Ami bangkit dari duduknya, “Jangan lupa ya! Besok kita belanja buat ke pantai!”
Haha.. bagus. Ngomong- ngomong aku jadi inget waktu aku ketemu Ami pertama kali, waktu aku masih SMP. Dia waktu itu masih baik, dia mau jadi temen pertamaku di sekolahan baruku. Aku pindah sekolah karena mengikuti pekerjaan orang tuaku. Sekarang aku tinggal sendirian karena nggak ingin pindah sekolah, dan temenku satu- satunya ya Ami. Tapi aku pernah mendengar gosip tentang Ami dari teman- teman smp dulu, kata mereka sih Ami itu pernah nikung salah satu teman terbaiknya. Aku nggak percaya sih, Ami bakal ngelakuin itu. Tapi walaupun aku nggak percaya, bukan berarti aku tidak harus waspada ‘kan?
Sudahlah, jangan dipikir lagi, batinku.
Alih- alih memikirkan Youta di rebut Ami, aku malah inget kejadian dulu. Aku jadi geli sendiri pada janji yang Ami buat untukku, dia berkata ‘Mulai hari ini kita temenan untuk selamanya ya’. Walau sifatnya yang kecentilan itu, dia sering menghiburku dan membelaku ketika ada orang yang mem-bully ku. Mungkin karena itu aku masih temenan sama dia, meski dia sering menyuruhku untuk mengerjakan tugasnya. Haha.
Udah ah, lanjut baca lagi hehehe.
–
“Kamu pilih yang mana?” Tanya Ami padaku.
Sekarang kami sedang berada di toko sepatu untuk membeli sepasang sneakers–bukan makanan lho. Ami memilih yang paling bagus, sementara aku memilih yang paling murah. Hidup di rumah sendirian itu tidak mudah, jadi aku tidak bisa membelanjakan uangku dengan boros seperti Ami. Ami sih anak orang kaya, jadi mudah baginya untuk belanja apa saja sesuka hati.
“Yang ini.” Jawabku ketika menemukan sneakers murah yang warnanya biru laut, menurutku ini sudah bagus.
“Oke.” Ami mengambil sneakers yang aku maksudkan dan berkata pada petugas penjaga toko, “Permisi, kami mau beli ini dua pasang.”
Aku terbelalak mendengarnya, dia bilang apa? ‘dua pasang’ katanya? Bukannya Ami nggak suka warna biru ya?
“Dua? Buat siapa?”
“Buat aku sama kamu lah. Gimana sih kamu Miu?” Jawab Ami santai sambil mengambil dompetnya dan mengeluarkan kartu kreditnya.
“Tunggu.. bukannya kamu nggak suka warna biru?”
“Buat Miu sih, apa yang nggak? Hahaha.” Ami nyengir puas dan wajahnya itu benar- benar membuatku geli.
Ami menyerahkan kartu kreditnya pada penjaga kasir dan menerima bungkusan sepatu yang kami beli. Ketika aku sadar kalau Ami yang membayar itu semua aku langsung berkata, “Lho.. kok kamu yang bayar? Nih uangku.” Aku mengeluarkan dompetku.
“Stop. Nggak usah, kali ini aku yang beliin kamu. Habis Miu ‘kan selalu membantu mengerjakan tugasku.”
Haha.. aku hanya tertawa garing kemudian berterimakasih pada Ami. Kami sudah lama tidak merasa malu- malu untuk menerima barang dari satu sama lain.
“Besok waktu pergi ke pantai pakai ya~” Kata Ami senang dan wajahnya seperti dikelilingi cahaya yang menyilaukan. Aura orang ceria.
Sampai di rumah, aku memandangi sneakers yang kami beli tadi. Tanpa sadar senyum terukir di wajahku. Baik juga dia lain kali gantian aku yang beliin, tekatku.
–
27 Juni adalah tanggal dimana Ami, aku, Youta dan temannya pergi ke pantai bersama dan tanggal itu adalah hari ini. Aku mengemas semua barangku, aku membawa baju yang pernah Ami dan aku beli bersama (udah lama sih). Rasanya nggak sabar banget pengen cepet- cepet sampai ke pantai. Ami dan aku jarang jalan- jalan sejauh ini sih. Walaupun awalnya aku kepaksa ikut, tapi lama- lama aku mulai menantikannya juga.
“Ngg.. pakai sandal apa ya??” Gumamku.
Tiba- tiba aku teringat kata- kata Ami beberapa minggu yang lalu, ‘Besok waktu pergi ke pantai pakai ya~’. Aku langsung mengambil sneakers yang kuletakan di atas lemari kayu. Karena masih baru, jadi enggan untuk memakainya. Tapi toh ini Ami yang beliin, jadi pakai aja deh~
Kami berkumpul di taman dekat rumahku. Aku sih sudah menunggu dari jam setengah sembilan pagi, padahal mereka kumpulnya jam sembilan. Satu persatu mereka datang. Youta datang bersama kedua temannya, setelah itu barulah Ami datang (dia paling lambat dari antara kami).
Setelah lengkap semuanya, kami berjalan ke halte bus bersama- sama. Tentu saja Youta dan aku berjalan paling belakang, serasa dunia milik berdua. Baru kali ini aku liburan bersama Youta, habis kami seringnya pergi ke kolam renang sih.
Setelah mendapat bus, ternyata bus yang kami tempati cukup penuh. Kami semua mendapat tempat kecuali Ami. Malang dia.
Youta tiba- tiba bangkit berdiri dan mempersilakan Ami untuk duduk disebelahku, “Silakan duduk, Hashimoto-san.”
Ami langsung tersenyum senang kepada Youta dan Youta membalas senyumannya. “Makasih Youta-kun!” Ami duduk disebelahku.
Kok rasanya ada yang menusuk dadaku ya? Rasanya sakit. Apa aku barusan cemburu sama Ami? Nggak. Nggak. Miu, jangan berpikiran yang enggak- enggak dong. Youta ‘kan sukanya sama kamu. Kok aku jadi lebay gini ya? Udah Miu tenang aja. Fiuhh~
Aku menghela nafas panjang.
Sepanjang perjalanan, penumpang semakin berkurang dan Youta mendapat tempat duduk. Kedua teman Youta, Endo dan Aoki bercanda terus dari tadi sampai- sampai perutku ikut sakit karena tertawa. Syukurlah Youta mengundang temannya, kalau nggak. Ami mungkin akan terus kecentilan sama Youta terus.
Setelah perjalanan yang amat sangat panjang (biasa aja sih sebenernya) kami akhirnya sampai ke pantai. Yeahh~
“HALLOO PANTAIII!!!” Teriak Endo dan Aoki bersamaan. Klop banget sih mereka.
“Eh, aku baru nyadar. Sepatumu dan sepatu Hashimoto sama ya?” Tanya Youta padaku, dia mengamati sneakersku dan milik Ami bergantian.
“Iya, hehe. Kami beli barengan beberapa waktu yang lalu.”
“Warnanya cantik.” Ucap Youta yang membuatku tersipu karena dia melihatku waktu mengatakan itu.
Ami menghampiriku, “Miu, aku boleh pinjem Youta-kun bentar nggak?” bisiknya
Debaran keras menghantam dadaku lagi, “Untuk apa?”
“Dia pinter menawar ‘kan? Biar dia nawar sewa kamar kita.”
“Ohh..” Kurasa aku bersikap berlebihan dan berpikir yang enggak- enggak deh. “Baiklah” Ucapku.
Ami langsung menggandeng tangan Youta dan mengajaknya ke tempat sewa kamar, “Youta-kun! Bantu aku nawar harga kamar ya?” Kata Ami kecentilan.
Kenapa harus menggandengnya? Dan kenapa Youta nggak melepaskan tangan Ami? Banyak pertanyaan membanjiri benakku, namun langsung kutepis perasaan itu. Hey, Miu kamu kesini untuk berlibur ‘kan? Kenapa resah gitu?, pikirku menenangkan diri.
Endo dan Aoki saling bertukar pandang melihat kejadian itu.
“Lho. Pacar Youta itu yang mana?” Tanya Aoki.
“Kata Youta sih yang namanya Kawano Miu.” Jawab Endo kemudian menoleh padaku, “Kamu Kawano ‘kan?”
“I-iya.” Jawabku gugup.
“Itu temenmu?”
“I-iya, namanya Hashimoto Ami.”
“Hashimoto..?” Gumam Aoki seperti sedang mengingat- ingat sesuatu. Kemudian ia bertukar pandang dengan Endo.
Mereka mencurigakan.
“Bukan ah, beda mungkin.” Jawab Endo.
“Beda? Kalian ngomong apa sih?” Tanyaku.
“E-eh.. enggak. Ayo kita pergi kesana yuk Kawano-san.” Ajak Aoki dan Endo sambil menarik tanganku mendekati pantai.
Ami dan Youta akhirnya kembali sambil mengatakan dimana kami akan menginap malam ini. Kami bermain seharian. Tapi aku agak nggak menikmati liburan ini. Jadi ketika Endo, Aoki, Ami, dan Youta bermain di laut. Aku hanya memandangi mereka dari pinggir pantai.
Banyak cewek yang mendekati Youta, habis Youta keren sih. Ah, udah ah nggak tau lagi. Pusing.
Aku membaringkan tubuhku dan menutup mataku, aku nggak mau menyimpan kenangan yang buruk. Oh, hey c’mon ini adalah pantai pertama dengan Youta. Tapi aku nggak bisa menikmatinya, apa lagi sikap Endo dan Aoki saat aku menyebut nama Ami tadi. Nggak tau ah.
Terdengar langkah menghampiriku, “Miu, kamu nggak mau main?”
Youta ternyata. “Aku pusing.” Jawabku singkat tanpa membuka mataku
“Pusing? Kamu nggak papa? Mau minum obat?” Tanya Youta dengan nada khawatir.
“Nggak papa kok. Cuma terkena sengatan matahari terik.”
“Ayo aku antar ke kamar. Kamu istirahat aja kalau gitu.”
Aku bersyukur Youta masih memperhatikanku. Aku bersyukur Youta adalah pacarku.
Youta menggandeng tanganku dan mengajakku pergi ke kamar sewaan kami. Aku tersenyum lemah. Bodoh sekali pikiranku kali ini.
Tiba- tiba ada seseorang berteriak, “Ada yang tenggelam!!”
Endo berlari ke arah Youta, “Hah..haah.. Yo-Youta, Hashimoto tenggelam. Hah.. ”
Youta langsung berlari ke arah laut dan melepaskan gandengan tangannya denganku. Eh? Kenapa? Kenapa Youta langsung berlali seperti itu? Kenapa?? Kenapa???
Aku kembali ke kamar sewaan kami sendirian. Kemudian aku mengkonsumsi obat pusing langsung empat buah aku telan. Selanjutnya aku nggak inget.
–
“Miu.. Miu… MIU!!!” Teriak Youta.
Aku membuka mataku. Aku melihat Youta disebelahku kemudian memelukku karena tau aku sudah sadar.
Dimana ini? Oh, ini di kamar sewaan.
“Yo-uta.” Panggilku lemah.
“Miu! Kamu kenapa sih minum obat pusing langsung empat dan nggak sadarkan diri sampai sekarang?? Kamu tau ini jam berapa?? Ini udah jam 6 pagi! Kamu tidur jam 12 siang kemarin!” Youta memarahiku.
Aku tersenyum lemah. Youta mengkhawatirkanku ternyata. Haha.
Ami muncul di sebelah Youta, senyumku perlahan hilang. Padahal liburan ini yang paling aku nanti, kenapa malah karena liburan ini aku jadi benci sama Ami ya?? Sesak. Pengen teriak. Pengen nangis.
Selesai sudah liburan kami. Berakhir seperti itu.
–
Beberapa minggu berikutnya..
Youta mengajakku pergi ke kolam renang di kota sebelah. Aku menyetujuinya. Kami bermain bersama seharian. Aku kangen tertawa bebas seperti ini. Ah~ rasanya menyenangkan sekali.
Sorenya, Youta menyuruhku pulang duluan. Karena ada yang harus ia lakukan. Entah dia dapat telepon dari siapa, tadi saat bermain bersamaku. Setelah itu Youta langsung merasa nggak enak badan.
Aku menunggu bus yang datang dengan tiket terakhirku. Fiuh. Capeknya hari ini. Busku akhirnya datang.
Ketika aku mau memasuki busku tiba- tiba ponselku berbunyi. Lagu ‘Natsu no Namae’ dari Youta. Kira- kira ada apa ya? Aku mengangkat teleponnya. Youta mengatakan sesuatu dengan suara yang kecil. Dan sesuatu hal itu menghantamku kuat sekali. Pandanganku langsung menjadi gelap.
Ponselnya langsung ku masukan tas dan duduk di tempat duduk yang kosong. Ingatan saat di pantai beberapa minggu yang lalu langsung menyeretku kembali mengenangnya. Aku membuka jendela busku dan meneriakan nama Youta. Itu membuat hatiku juga mendengar perasaanku terdalam terluka.
Pemandangan kota yang aku lihat sekarang tertutup oleh air mataku.
Ternyata Youta dan Ami pernah pacaran jarak jauh, tapi hubungan mereka terputus karena orang tua Ami tidak mengijinkan Ami berpacaran sama Youta.
Sekarang semua jelas, kenapa waktu sampai di pantai Ami bilang ‘Dia pinter menawar ‘kan? Biar dia nawar sewa kamar kita’ padahal aku nggak pernah cerita ke Ami tentang Youta. Kenapa Ami setega itu padaku sih? Ternyata memang anak orang kaya itu egois ya? Haha.. sudah kuduga, aku tersenyum pahit dan kembali menangis.
Hiks.. hiks.. hatiku sakit sekali. Banyak hal yang tidak aku ketahui. Kenapa mereka melakukan itu, dan kenapa mereka tidak mengatakan padaku dari awal. Youta hanya menjadikanku tempat pelampiasannya saja kah? Waktu itu juga.. hanya kebohongan semua ‘kah?
–
“Miu, ini aku.” Ucap seseorang dari luar pintu.
Aku tau suara siapa ini, tapi aku tidak mau keluar. Aku benci. Benci sampai ingin mati rasanya. Sekarang aku jadi tau perasaan orang- orang yang ada di dalam drama yang sering ku tonton. Sakitnya minta ampun. Walau orang- orang sekitar menganggap sikapku ini berlebihan, namun rasanya sakit banget. Bahkan kalau disuruh memilih, mending aku ketabrak mobil aja dari pada patah hati dan di khianati sekaligus.
“Miu, tolong bukakan pintu. Aku tau kamu ada di dalam. Aku ingin menjelaskan segalanya.”
Dia kok nggak nyerah juga sih? Pergi sana! Hiks hiks.. tiba- tiba aku menangis karena ingatanku memutar kejadian itu lagi.
“Yaudah, kamu nggak usah keluar. Cukup denger penjelasanku aja dari situ.” Dia berdeham, “Maaf Miu, sebenarnya waktu aku menyatakan perasaan itu, perasaanku sendiri masih kacau. Aku baru pindah di kota ini dua bulan sebelum ketemu kamu di kolam renang. Aku mau nyari rumah Ami, tapi-“
“Hentikan!!!” Teriakku karena nggak tahan. “Pergi saja kalian!! PERGI DARI KEHIDUPANKU!!! Hiks.. hiks.”
Setelah aku teriak seperti itu, aku merasa bersalah pada Youta. Dia mau meminta maaf dan mengaku kesalahannya namun aku nggak mau dengar penjelasannya dan memaafkannya. Biarlah! Aku masih sakit hati.
–
Tiga hari berlalu setelah aku mengurung diri di rumahku. Tidak ada yang menjengguk, termasuk Ami. Kenapa yang jelasin ke aku hanya Youta? Ami nggak mau minta maaf padaku? Dan nggak nyesal apa yang telah ia lakukan?
Hahaha. Aku tertawa. Naif sekali aku sampai mengharapkan si anak manja itu datang minta maaf padaku. Hahaha. Mulai hari ini aku memutuskan untuk berhenti hidup seperti ini. Seperti kata banyak orang yang patah hati, Move on. Ayo Miu, move on!
Aku pergi supermarket terdekat untuk membeli bahan makan seminggu ini, karena bahan makanan yang di rumah sudah habis.
“Kawano-san?” Panggil sebuah suara ketika aku sedang memilih jajanan.
Aku menoleh, “Endo ya?”
Endo menganggukkan kepalanya. “Rumahmu dekat sini ya, Kawano?”
“Iya.” Jawabku singkat.
“Oh, iya. Omong- omong kamu udah denger penjelasannya Youta belum?”
Raut wajahku berubah masam, “Youta? Untuk apa?”
Endo langsung menjadi panik dan menarik tanganku keluar supermarket. Aku langsung dengan cepat melepas pegangan tangannya, “Apaan sih?”
“Sudah kuduga kamu bakalan begini.” Kata Endo.
“Maksudnya apa?”
“Setelah membayar, aku tunggu di taman itu ya.” Endo berlari keluar supermarket.
Apa- apa’an sih anak itu? Apa karena nggak ada Aoki, belahan jiwanya, dia makin nggak waras gitu ya? Namun entah kenapa setelah membayar yang aku beli, aku berjalan ke taman yang dimaksudkan Endo.
Endo tampak sedang menelpon seseorang dan kemudian dengan cepat menutup teleponnya setelah ia melihat aku datang ke arahnya. Dia nggak nelpon Youta kan?
“Maaf, barusan mamaku telepon hehe.” Kata Endo sambil mempersilakan aku duduk di bangku taman itu. “Duduklah.”
“Mau ngomong apa? Ccpetan.” Ucapku mendesak.
“Iya- iya sabar. Kawano, kamu masih dendam sama Youta karena dia lebih milih Ami?”
Aku dengan cepat menoleh padanya, darahku agak mendidih. “Tolong jangan bahas itu lagi.”
“Kawano, kamu tau apa itu cinta yang sebenarnya?” Endo dengan cepat mengubah topik pembicaraan kami.
“Tau. Ya yang selalu bersama ‘kan? Cinta itu perasaan mengasihi satu sama lain tanpa terikat pada apapun ‘kan? Dan Cinta itu harus memiliki satu sama lain ‘kan?”
“Kamu salah.” Jawab Endo sambil memandang lurus kedepan.
“Eh?” Aku menoleh ke arah Endo. “Apa maksudmu?”
“Kalau itu yang kau sebut ‘cinta’ berarti kamu salah besar, Kawano. Cinta yang sebenarnya adalah perasaan yang dimiliki seseorang untuk orang lain dengan tulus tanpa meminta apapun dari orang lain itu. Artinya kita tidak harus memiliki untuk mendapatkan cinta. Dan kalau aku boleh bilang, kamu itu tidak mencintai Youta.”
Ucapan Endo benar- benar sudah kertelaluan sekali. Aku berdiri, “Kamu itu ngajak berantem ya?”
“Aku boleh tanya nggak sama kamu Kawano?”
“Apa?” Kataku dengan nada membentak.
“Apa waktu bersama Youta jantungmu berdetak kencang?”
Eh? Tiba- tiba aku langsung diam seribu bahasa. Iya juga ya. Kalau dipikir- pikir aku tidak pernah deg- degan waktu sama Youta ya?
“Ka-kalau nggak kenapa?”
“Artinya kamu nggak cinta dia. Kawano, hentikanlah kegiatan kekanak- kanak’anmu sekarang. Kamu sudah terlalu besar untuk bermain ngambek- ngambekan. Dengarkan penjelasan Youta, dan maafkanlah dia. Toh, kalau kamu melakukan ini yang rugi siapa? Kamu sendiri ‘kan?”
Kata- kata Endo menyadarkanku, tiba- tiba saja seperti kaca yang pecah karena tak kuat membendung air mataku pun mulai mengeluarkan air mata. Kenapa aku tak menyadarinya? Ternyata begitu. Ini semua hanya keinginanku pada wajah tampan Youta dan perhatiannya saja. Aku kurang perhatian karena jauh dari orang tua. Begitu ternyata. Maafkan aku Youta, Ami.
Aku menangis tersedu- sedu dan duduk kembali di bangku taman itu.
“Tenang saja Kawano, belum terlambat untuk memaafkan kok.” Kata Endo menepuk bahuku untuk menghibur. “Di sini!” Teriak Endo.
‘Di sini’? Endo ngomong sama siapa? Aku mengadahkan kepalaku dan mengikuti pandangan Endo, Youta! Aku langsung bangkit dan berlari ke arah Youta. Langsung ku peluk Youta dan menangis.
“Ma-maafkan aku Youta. Selama ini aku hanya memanfaatkanmu dan tidak mendengarkan penjelasanmu dulu.” Aku melepas pelukanku dan memandang Youta.
Youta tersenyum lega seolah beban yang ada di pundaknya langsung terangkat begitu saja, “Iya nggak papa kok Miu. Aku yang harusnya minta maaf, sebenarnya hari itu aku sudah menemukan rumah Ami dan mamanya Ami itu mengusirku karena aku bukan anak dari orang kaya.” Youta tersenyum pahit, “Kemudian aku ke kolam renang, waktu itu nggak sengaja ketemu kamu dan waktu itu..”
“Nggak papa kok, aku ngerti. Maaf. Semoga kamu bahagia sama Ami.” Ucapku penuh ketulusan, kali ini sudah tidak ada hal yang menghentikan suaraku untuk mengucapkan itu. Angin berhembus pada hari ini lumayan kencang, angin yang hangat.
–
Ketika aku turun dari bus, aku mencium bau rerumputan. Sudah musim semi ternyata. Walaupun sudah musim semi, rasanya seperti kembali lagi ketika aku masih belum dewasa. Ketika aku mengingatnya, gulungan memoriku menarikku ke dalamnya lagi. Aku melihat pemandangan yang aku ingat waktu liburan itu.
Dia terlihat seperti bayangan sekarang, aku hanya ingat pemandangannya. Kenapa di dalam hatiku panas begini? Ketika aku menyadarinya, aku mulai berkeringat. Hampir sama seperti hari itu, angin lain pun berhembus menyentuh kulitku.
Saat kita bertemu dulu, setiap detik dan bagiannya. Aku nggak ingin melupakan itu. Musim panas yang aku lalu dengannya. Aku nggak berpikir aku akan melupakan semuanya.
“YOUTAA!!!”
Selamat tinggal. 🙂
You must be logged in to post a comment.